Senin, 03 Januari 2011

Generasi Mawar

Truk peninggalan Jepang itu mereka beri nama King Kong, sebab dia perkasa di segala medan. Tetapi malam itu di tengah rimba raya hutan Sumatera King Kong tidak berdaya. Di tengah hujan deras, liat lumpur mencengkeram dua pasang ban nya. King Kong pada akhirnya menyerah, dia akan menjadi fosil di rimba Sumatera Tengah. Penumpangnya, seorang laki-laki berusia 37 tahun Sjafrudin Prawiranegara bersama dengan belasan pemuda remaja yang menjaganya. Sjafrudin dan para pemuda itu telah melewati beragam ujian, dikejar pasukan infanteri musuh, ditembaki oleh cocor merah dari udara hingga tersasar di tengah rimba raya Sumatera. Mereka terus berjalan, sebab di tangan Sjafrudin amanat begitu besar, menjaga tetap berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Malam disiram hujan itu tanggal 31 Desember 1948, mereka memutuskan berjalan kaki hingga mencapai perkampungan Kiliranjao. Enam ratus tahun silam disanalah tentara Majapahit bermukim sebelum penyerbuan gagal ke Minangkabau. Anak-anak muda itu melewati akhir tahun dengan cara mereka sendiri, ada pesta dalam pelarian.


Tahi Bonar Simatupang, 29 tahun, dan dia masih bujangan. Dia seorang pemuda yang penuh gaya, berharap bisa menghabiskan akhir tahun di ibukota Yogyakarta. Dengan pangkat Kolonel di pundak dan jabatan wakil kepala staf Angkatan Perang, dia mewakili tentara dalam setiap perundingan. Itu membuat akhir tahun lebih menjanjikan. Tetapi harapan punah oleh kenyataan, Belanda menyerbu jantung republik, para pemimpin menjadi tawanan. Simatupang terpaksa meninggalkan Jogja, di tengah perjalanan jeep nya dihantam musuh. Dia hanya bisa menggunakan sepasang kaki menyisiri setiap kantong gerilya. Melepas pemuda-pemuda remaja Siliwangi kembali menempuh perjalanan panjang menuju daerah asal mereka. Menyaksikan anak-anak muda tiada gentar menyusup garis musuh di malam hari. Pada malam 31 Desember 1948, Simatupang berada kampung Banaran. Tidak ada sampanye menyambut pergantian tahun tetapi kepala kampung paham ini tetap mesti dirayakan. Satu jerigen Legen menggantikan sampanye, untuk harapan yang sama di tahun berbeda. Sejarah memang membosankan. Tetapi apalagi yang bisa kita lakukan. Sebab untuk bisa melaju ke depan, kita membutuhkan bahan bakar dari masa silam. Setidaknya kita bisa mengingat, pernah pada suatu masa yang singkat, sebuah generasi menentukan kehendaknya sendiri. Generasi yang berisi anak-anak muda tumbuh dewasa karena kemauan mereka sendiri. Generasi yang menolak kalah pada perintah. Anak-anak muda yang percaya bahwa mereka bukan saja bisa mengguncangkan dunia tetapi juga bisa menguasainya. Itu tampak serius di masa sekarang padahal mereka sangat menikmati layaknya kita yang menghabiskan hari di depan komputer, perkantoran, mall dan kelab malam. Tawa mereka sama saja dengan tawa kita sekarang, tiada beda. Sedihnya sama saja dengan keterkucilan yang kita alami sekarang. Sebab yang berbeda di dunia ini hanyalah benda-benda mati yang terus berubah. Mereka adalah generasi mawar. Kembang indah bertangkai duri, memaksa pemetiknya berpikir dua kali.
Akhir tahun ini, kita tidak sedang angkat senjata. Tetapi kita tetap menghadapi agresi yang terus berusaha menghancurkan. Membawa kita dalam lubang-lubang persembunyian penuh kecurigaan dan kebencian. Politik telah menjadi bom yang terus membunuh kesadaran bersama kita. Kekuasaan membentengi diri dengan kekacauan yang terjadi. Informasi menjadi ranjau-ranjau yang memakan tuannya sendiri. Kita hidup dalam semua potensi kehancuran. Lalu kita melupakan semua hal baik yang mungkin bisa dilakukan. Semua tampak berakhir buruk. Sebab tiba-tiba saja kita berusaha tetapi mereka yang menentukan. Kita seperti generasi singkong, terpenjara di kedalaman tanah hingga kematian merenggut kita keluar.


Untunglah kita hidup di atas tanah yang subur yang memberi hidup pada benih apapun yang disemai. Di tanah tempat tumbuhnya singkong, mawar bisa tumbuh bersemi. Kita melihat gairah di akhir tahun karena sepakbola. Kita ikut dan menjadi saksi betapa narkoba politik tidak selamanya menguasai kita. Anak-anak muda beragam usia tumpah ruah dalam pesta mereka. Anak-anak muda, tidak peduli laki-laki dan perempuan memenuhi stadion, arena terbuka, café dan bahkan warung emperan untuk satu suara Indonesia. Kita mulai menolak untuk didikte. Kita menolak untuk dikendalikan. Kita mengenyahkan kebencian sehingga kita tidak mau diadu dalam kekacauan. Kedamaian kita adalah kegelisahan mereka. Tepuk sorak kompak kita adalah pangkal kebinasaan mereka. Lebih dari itu semua, stamina kita akan memperpendek usia mereka yang selama ini terus menerus berusaha menghancurkan bangsa ini. Kita menolak untuk kalah tetapi kita tidak menginginkan apa-apa.
Generasi mawar terlahir kembali, itulah sebuah harapan di penghujung tahun ini. Sebuah generasi yang punya kehendak sendiri. Anak-anak muda yang mulai berhitung dengan jumlah dan kekuatan. Mereka yang terus bekerja penuh cinta menekuni bidangnya masing-masing. Mereka yang tidak peduli lagi dengan rasa takut sehingga meninggalkan lubang-lubang keterasingan. Sehingga kita bisa berbaur tanpa curiga, mengikis habis setiap potensi petaka. Cukuplah politik untuk kalian saja, kita tidak menginginkannya dalam keseharian. Sebab bila politik terus menjadi rutinitas, generasi baru ini akan mengenyahkannya pergi. Cukuplah semua permainan ini, sebab bila tidak, kami yang dipaksa menonton akan turun menghentikannya. Hentikanlah semua sandiwara payah kalian itu, sebab sutradara tua tidak cocok dengan selera kami. Dan yang paling penting sadarlah, usia tua tidak akan menyumbangkan banyak hal kecuali kekacauan dalam kepikunan.


Tahun depan, kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Satu yang pasti, keadaan tidak akan pernah sama lagi. Kalian tidak akan pernah lagi bisa memetik mawar tanpa duri menusuk jari.




Source : http://itonesia.com/generasi-mawar/

2 comments:

zen mengatakan...

Terima kasih tlah bersedia tukar link dengan berita86.com. Link anda juga sudah terpasang. Salam persatuan kawan!!

mix mengatakan...

sama sama gan...,

Posting Komentar

Recent Posts